Sejarah Peradaban Islam
Indonesia
Peradaban yang
dibangun oleh Nabi Muhammad Saw adalah peradaban yang dibangun di atas pijakan
pandangan dunia agama bukan materi. Islam lebih mengedepankan nilai-nilai
ruhani dan kemanusiaan. Materi termasuk teknologi bukan tujuan utama tetapi
hanya aksidental. Keberhasilan menurut Islam tidak diukur dengan perolehan materi yang
banyak tetapi diukur dengan pendekatan diri kepada Allah dan memperbanyak bekal
untuk hari akhir.
Imam Ali di saat kepalanya ditebas oleh seorang Khawarij secara spontan
berkata, “Demi Tuhan Ka’bah, aku telah berhasil !”. Sampainya seseorang kepada
Allah Swt dan berkhidmat kepada manusia adalah prestasi yang dituntut oleh
Islam. Materi sebagai materi tidak mempunyai nilai apapun di mata Islam. Materi
akan berarti jika dimaknai dengan tujuan-tujuan akhirat.
Nabi Muhammad
Saw dengan peradaban yang berdasarkan nilai-nilai agama dan kemanusiaan
berhasil mengalahkan dua kekuatan yang kuat; Persia dan Romawi yang membangun
peradaban dengan kekuatan materi. Meskipun pada perkembangan berikutnya para
pemimpin Islam, khususnya khilafah Abbasiyyah lebih concern pada pembangunan
materi bukan pengembangan nilai-nilai agama dan kemanusiaan.
Sebelum Kemerdekaan
Islam masuk ke
Indonesia pada abad pertama hijriyah atau abad ke tujuh sampai abad ke delapanmasehi.
Ini mungkin didasarkan kepada penemuan batu nisan seorang wanita muslimah yang
bernama Fatimah binti Maimun dileran dekat Surabaya bertahun 475 H atau 1082 M.
Sedang menurut laporan seorang musafir Maroko Ibnu Batutah yang mengunjungi
Samudera Pasai dalam perjalanannya ke negeri Cina pada tahun 1345 M. Agama
islam yang bermahzab Syafi’I telah mantap disana selama se abad, oleh karena
itu berdasarkan bukti ini abad ke XIII di anggap sebagai awal masuknya agama
islam ke Indonesia.
Daerah yang pertama-pertama
dikunjungi ialah :
1.
Pesisir Utara pulau Sumatera, yaitu di peureulak Aceh
Timur, kemudian meluas sampai bisa mendirikan kerajaan islam pertama di
Samudera Pasai, Aceh Utara.
- Pesisir
Utara pulau Jawa kemudian meluas ke Maluku yang selama beberapa abad
menjadi pusat kerajaan Hindu yaitu kerajaan Maja Pahit.
Pada permulaan abad ke XVII dengan masuk islamnya penguasa
kerajaan Mataram, yaitu: Sultan Agung maka kemenangan agama islam hampir
meliputi sebagai besar wilayah Indonesia.
Sejak pertengahan abad ke XIX, agama islam di Indonesia
secara bertahap mulai meninggalkan sifat-sifatnya yang Singkretik
(mistik). Setelah banyak orang Indonesia yang mengadakan hubungan dengan Mekkah
dengan cara menunaikan ibadah haji, dan sebagiannya ada yang bermukim bertahun-tahun
lamanya.
Ada tiga tahapan “masa” yang dilalui atau pergerakan sebelum
kemerdekaan, yakni :
Pada
Masa Kesultanan
Daerah yang sedikit sekali disentuh
oleh kebudayaan Hindu-Budha adalah daerah Aceh, Minangkabau di Sumatera Barat
dan Banten di Jawa. Agama islam secara mendalam mempengaruhi kehidupan agama,
social dan politik penganut-penganutnya sehingga di daerah-daerah tersebut
agama islam itu telah menunjukkan dalam bentuk yang lebih murni. Dikerajaan
tersebut agama islam tertanam kuat sampai Indonesia merdeka. Salah satu
buktinya yaiut banyaknya nama-nama islam dan peninggalan-peninggalan yang
bernilai keIslaman.
Dikerajaan
Banjar dengan masuk islamnya raja Banjar. Perkembangan Islam selanjutnya tidak
begitu sulit, raja menunjukkan fasilitas dan kemudahan lainnya yang hasilnya
membawa kepada kehidupan masyarakat Banjar yang benar-benar bersendikan Islam.
Secara konkrit kehidupan keagamaan di kerajaan Banjar ini diwujudkan dengan
adanya Mufti dan Qadhi atas jasa Muhammad Arsyad Al-Banjari yang ahli dalam
bidang Fiqih dan Tasawuf.
Islam di Jawa,
pada masa pertumbuhannya diwarnai kebudayaan jawa, ia banyak memberikan
kelonggaran pada sistem kepercayaan yang dianut agama Hindu-Budha. Hal ini
memberikan kemudahan dalam islamisasi atau paling tidak mengurangi
kesulitan-kesulitan. Para wali terutama Wali Songo sangatlah berjasa dalam pengembangan
agama islam di pulau Jawa.
Menurut buku
Babad Diponegoro yang dikutip Ruslan Abdulgani dikabarkan bahwa Prabu
Kertawijaya penguasa terakhir kerajaan Mojo Pahit, setelah mendengar penjelasan
Sunan Ampel dan sunan Giri, maksud agam islam dan agama Budha itu sama, hanya
cara beribadahnya yang berbeda. Oleh karena itu ia tidak melarang rakyatnya
untuk memeluk agama baru itu (agama islam), asalkan dilakukan dengan kesadaran,
keyakinan, dan tanpa paksaan atau pun kekerasan.
Pada
Masa Penjajahan
Dengan datangnya pedagang-pedagang
barat ke Indonesia yang berbeda watak dengan pedagang-pedagang Arab, Persia,
dan India yang beragama islam, kaum pedagang barat yang beragama Kristen
melakukan misinya dengan kekerasan terutama dagang teknologi persenjataan
mereka yang lebih ungggul daripada persenjataan Indonesia. Tujuan mereka adalah
untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan islam di sepanjang pesisir kepulauan
nusantara. Pada mulanya mereka datang ke Indonesia untuk menjalin hubungan
dagang, karena Indonesia kaya dengan rempah-rempah, kemudian mereka ingin
memonopoli perdagangan tersebut.
Waktu itu kolonial belum berani
mencampuri masalah islam, karena mereka belum mengetahui ajaran islam dan
bahasa Arab, juga belum mengetahui sistem social islam. Pada tahun 1808
pemerintah Belanda mengeluarkan instruksi kepada para bupati agar urusan agama
tidak diganggu, dan pemuka-pemuka agama dibiarkan untuk memutuskan
perkara-perkara dibidang perkawinan dan kewarisan.
Tahun 1820 dibuatlah Statsblaad
untuk mempertegaskan instruksi ini. Dan pada tahun 1867 campur tangan mereka
lebih tampak lagi, dengan adanya instruksi kepada bupati dan wedana, untuk
mengawasi ulama-ulama agar tidak melakukan apapun yang bertentangan dengan
peraturan Gubernur Jendral. Lalu pada tahun 1882, mereka mengatur lembaga
peradilan agama yang dibatasi hanya menangani perkara-perkara perkawinan,
kewarisan, perwalian, dan perwakafan.
Apalagi setelah kedatangan Snouck
Hurgronye yang ditugasi menjadi penasehat urusan Pribumi dan Arab, pemerintahan
Belanda lebih berani membuat kebijaksanaan mengenai masalah islam di Indonesia,
karena Snouck mempunyai pengalaman dalam penelitian lapangan di negeri Arab,
Jawa, dan Aceh. Lalu ia mengemukakan gagasannya yang dikenal dengan politik
islamnya. Dengan politik itu, ia membagi masalah islam dalam tiga kategori :
a. Bidang agama murni atau ibadah
Pemerintahan kolonial memberikan
kemerdekaan kepada umat islam untuk melaksanakan agamanya sepanjang tidak
mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda.
b. Bidang sosial kemasyarakatan
Hukum islam baru bisa diberlakukan
apabila tidak bertentangan dengan adat kebiasaan.
c. Bidang politik
Orang islam dilarang membahas hukum
islam, baik Al-Qur’an maupun Sunnah yang menerangkan tentang politik kenegaraan
dan ketata negaraan.
Pada
Masa Kemerdekaan
Terdapat asumsi yang senantiasa
melekat dalam setiap penelitian sejarah bahwa masa kini sebagian dibentuk oleh
masa lalu dan sebagian masa depan dibentuk hari ini. Demikian pula halnya
dengan kenyataan umat islam Indonesia pada masa kini, tentu sangat dipengaruhi
masa lalunya.
Islam di Indonesia telah diakui
sebagai kekuatan cultural, tetapi islam dicegah untuk merumuskan bangsa
Indonesia menurut versi islam. Sebagai kekuatan moral dan budaya, islam diakui
keberadaannya, tetapi tidak pada kekuatan politik secara riil (nyata) di negeri
ini.
Seperti halnya pada masa penjajahan
Belanda, sesuai dengan pendapat Snouck Hurgronye, islam sebagai kekuatan ibadah
(sholat) atau soal haji perlu diberi kebebasan, namun sebagai kekuatan politik
perlu dibatasi. Perkembangan selanjutnya pada masa Orde Lama, islam telah
diberi tempat tertentu dalam konfigurasi (bentuk/wujud) yang paradoks, terutama
dalam dunia politik. Sedangkan pada masa Orde Baru, tampaknya islam diakui
hanya sebatas sebagai landasan moral bagi pembangunan bangsa dan negara.
SESUDAH
KEMERDEKAAN
Pra
Kemerdekaan
Ajaran islam pada hakikatnya terlalu
dinamis untuk dapat dijinakkan begitu saja. Berdasarkan pengalaman melawan
penjajah yang tak mungkin dihadapi dengan perlawanan fisik, tetapi harus
melalui pemikiran-pemikiran dan kekuatan organanisasi. Seperti :
Ø Budi Utomo (1908) - Taman Siswa
(1922);
Ø Sarikat Islam (1911) - Nahdhatul
Ulama (1926);
Ø Muhammadiyah (1912) - Partai
Nasional Indonesia (1927);
Ø Partai Komunis Indonesia (1914).
Menurut Deliar Noer, selain yang tersebut diatas masih ada
organisasi islam lainnya yang berdiri pada masa itu, diantaranya:
Ø Jamiat Khair (1905);
Ø Persyarikatan Ulama ( 1911);
Ø Persatuan Islam (1920);
Ø Partai Arab Indonesia (1934).
Organisasi perbaharu terpenting dikalangan organisasi
tersebut diatas, adalah Muhammadiyah yang didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan, dan
Nadhatul Ulama yang dipelopori oleh K.H Hasyim Asy’ari.
Untuk mempersatukan pemikiran guna menghadapi kaum penjajah,
maka Muhammadiyah dan Nadhatul Ulama bersama-sama menjadi sponsor pembentukan
suatu federasi islam yang baru yang disebut Majelis Islan Ala Indonesia (
Majelis Islam Tertinggi di Indonesia ) yang disingkat MIAI, yang didirikan di Surabaya
pada tahun 1937.
Masa pemerintahan Jepang, ada tiga pranata sosial yang
dibentuk oleh pemerintahan Jepang yang menguntungkan kaum muslim di Indonesia,
yaitu :
a. Shumubu, yaitu Kantor Urusan Agama yang
menggantikan Kantor Urusan Pribumi zaman Belanda, yang dipimpin oleh Hoesein
Djayadiningrat pada 1 Oktober 1943.
b. Masyumi, ( Majelis Syura Muslimin Indonesia
) menggantikan MIAI yang dibubarkan pada bulan oktober 1943, Tujuan
didirikannya adalah selain untuk memperkokohkan Persatuan Umat Islam di Indonesia,
juga untuk meningkatkan bantuan kaum muslimin kepada usaha peperangan Jepang.
c. Hizbullah, ( Partai Allah atau Angkatan Allah
) semacam organisasi militer untuk pemuda-pemuda muslimin yang dipimpin oleh
Zainul Arifin. Organisasi inilah yang menjadi cikal bakal Tentara Nasional
Indonesia (TNI).
Pasca
Kemerdekaan
Organisasi-organisasi yang muncul
pada masa sebelum kemerdekaan masih tetap berkembang di masa kemerdekaan,
seperti Muhammadiyah, Nadhatul Ulama, Masyumi dan lain lain. Namun ada
gerakan-gerakan islam yang muncul sesudah tahun 1945 sampai akhir Orde Lama.
Gerakan ini adalah DI/TII yang berusaha dengan kekerasan untuk merealisasikan
cita-cita negara islam Indonesia.
Gerakan kekerasan yang bernada islam
ini terjadi diberbagai daerah di Indonesia diantaranya :
Ø Di Jawa Barat, pada tahun 1949 –
1962;
Ø Di Jawa Tengah, pada tahun 1965;
Ø Di Sulawesi, berakhir pada tahun
1965;
Ø Di Kalimantan, berakhir pada tahun
1963;
Ø Dan di Aceh, pada tahun 1953 yang
berakhir dengan kompromi pada
Jauh sebelum
Islam masuk ke Indonesia, bangsa Indonesia telah memeluk agama hindu dan budha
disamping kepercayaan nenek moyang mereka yang menganut animisme dan dinamisme.
Setelah Islam masuk ke Indonesia, Islam berpengaruh besar baik dalam bidang
politik, sosial, ekonomi, maupun di bidang kebudayaan yang antara lain seperti
di bawah ini:
Pengaruh Bahasa dan Nama
Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan sangat banyak
dipengaruhi oleh bahasa Arab. Bahasa Arab sudah banayk menyatu dalam kosa kata
bahasa Indonesia, contohnya: kata wajib, fardhu, lahir, bathin, musyawarah,
surat, kabar, koran, jual, kursi dan masker. Dalam hal nama juga banyak dipakai
nama-nama yang berciri Islam (Arab) seperti Muhammad, Abdullah, Anwar, Ahmad,
Abdul, Muthalib, Muhaimin, Junaidi, Aminah, Khadijah, Maimunah, Rahmillah,
Rohani dan Rahma.
Pengaruh Budaya, Adat Istiadat dan Seni
Kebiasaan yang banyak berkembang dari budaya Islam dapat
berupa ucapan salam, acara tahlilan, syukuran, yasinan dan lain-lain. Dalam hal
kesenian, banyak dijumpai seni musik seperti kasidah, rebana, marawis, barzanji
dan shalawat. Kita juga melihat pengaruh di bidang seni arsitektur rumah
peribadatan atau masjid di Indonesia yang banayak dipengaruhi oleh arsitektur
masjid yang ada di wilayah Timur Tengah.
Pengaruh dalam Bidang Politik
Pengaruh ini dapat dilihat dalam sistem pemerintahan
kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia seperti konsep khilafah atau kesultanan
yang sering kita jumpai pada kerajaan-kerajaan seperti Aceh, Mataram. Demak,
Banten dan Tidore
Pengaruh di bidang ekonomi
Daerah-daerah pesisir sering dikunjungi para pedagang Islam
dari Arab, Parsi,dan Gujarat yang menerapkan konsep jual beli secara Islam.
Juga adanya kewajiban membayar zakat atau amal jariyah yang lainnya, seperti
sedekah, infak, waqaf, menyantuni yatim, piatu, fakir dan miskin. Hal itu
membuat perekonomian umat Islam semakin berkembang.
Ulama
dan Intelektual; Simbol Peradaban Islam Indonesia
Sangat disayangkan.. “penglihatan” sejarah Islam di
Indonesia tidak memunculkan “periodisasi keemasan” peradaban Islam dalam kurun
waktu abad 16 sampai 18 M, karena periodisasi yang muncul adalah masa
“prakolonialis”. Padahal pada masa ini tumbuh peradaban Islam yang setaraf
dengan sejarah peradaban Islam di Timur Tengah masa Daulah Abassiyah.
Bukti-bukti yang menunjukan lahirnya peradaban Islam di Indonesia adalah dengan
munculnya para Ulama dan Intelektual Islam di seluruh penjuru Nusantara. Mereka
diantaranya :
Ø Syeikh Hamzah al-Fansuri (Sasterawan
sufi agung)
Ø Syeikh Nuruddin ar-Raniri (Ulama
ahli debat,tersohor di Aceh)
Ø Habib Husein al-Qadri (Penyebar
Islam Kalimantan Barat)
Ø Syeikh Muhammad Arsyad al-Banjari
(Pengarang Sabil al-Muhtadin)
Ø Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari
(Ulama sufi dunia Melayu)
Ø Syarif Abdur Rahman al-Qadri (Sultan
pertama kerajaan Pontianak)
Ø Syeikh Abdul Rahman Minangkabau (Mursyid
Thariqat Naqsyabandiyah)
Ø Mufti Jamaluddin al-Banjari (Ahli
undang-undang Kerajaan Banjar)
Ø Ahmad Khathib Sambas (Mursyid
Tariqat Qadiriyah)
Ø Syeikh Nawawi al-Bantani (Digelar
Imam Nawawi kedua)
Ø Muhammad Khalil al-Maduri (Guru ulama
Jawa, Madura)
Ø Saiyid Utsman Betawi (Mufti paling
masyhur)
Ø Tuanku Kisa-i al-Minankabawi
lahirkan tokoh besar Hamka
Ø Raja Muhammad Sa’id – Cendekiawan
Istana Riau
Ø Dll
Sangat disayangkan sedikit sekali pengetahuan kita tentang
mereka bahwasanya mereka telah memberikan andil besar dalam peradaban Islam di
Indonesia dengan karya-karya kitab yang mereka tulis. Tulisan tangan asli para
ulama yang disebut manuskrip, merupakan bukti sejarah perkembangan Islam di
kawasan ini. DR. H. Uka Tjandrasasmita, seorang Arkeolog Islam menyatakan ; Di
Aceh, pada abad 16–17 terdapat cukup banyak penulis manuskrip. Misalnya, Hamzah
Fansuri, yang dikenal sebagai tokoh sufi ternama pada masanya. Kemudian ada
Syekh Nuruddin ar-Raniri alias Syeikh Nuruddin Muhammad ibnu ‘Ali ibnu Hasanji
ibnu Muhammad Hamid ar-Raniri al-Quraisyi. Ia dikenal sebagai ulama yang juga
bertugas menjadi Qadhi al-Malik al-Adil dan Mufti Muaddam di Kesultanan Aceh
pada kepemimpinan Sultan Iskandar Tsani abad 16. Salah satu karyanya yang
terkenal berjudul ”Bustanul Salatin.” Syeikh Abdul Rauf al-Singkili yang juga
ditetapkan sebagai Mufti dan Qadhi Malik al-Adil di Kesultanan Aceh selama
periode empat orang ratu, juga banyak menulis naskah-naskah keislaman.
Karya-karya mereka tidak hanya berkembang di Aceh, tapi juga
berkembang seluruh Sumatera, Semenanjung Malaka sampai ke Thailand Selatan.
Karya-karya mereka juga mempengaruhi pemikiran dan awal peradaban Islam di
Pulau Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara, kepulauan Maluku, Buton hingga
Papua. Sehingga di daerah itu juga terdapat peninggalan karya ulama Aceh ini.
Perkembangan selanjutnya, memunculkan karya keislaman di daerah lain seperti,
Kitab Sabilal Muhtadin karya Syekh al Banjari di Banjarmasin. Di Palembang juga
ada. Di Banten ada Syekh al Bantani yang juga menulis banyak manuskrip. Semua
manuskrip ini menjadi rujukan umat dan penguasa saat itu.
Taufik Abdullah membagi sejarah peradaban Islam di
Nusantara dari abad ke-13 hingga pertengahan abad ke-19 M ke dalam tiga
gelombang, yaitu :
- Gelombang
Pertama adalah gelombang diletakkannya dasar-dasar kosmopolitanisme Islam,
yaitu sikap budaya yang menjadikan diri sebagai bagian dari masyarakat
kosmopolitan dengan referensi kebudayaan Islam. Gelombang ini terjadi
sebelum dan setelah munculnya kerajaan Samudra Pasai hingga akhir abad
ke-14 M.
- Gelombang
Kedua terjadi proses islamisasi kebudayaan dan realitas secara
besar-besaran. Islam dipakai sebagai cermin untuk melihat dan memahami
realitas. Pusaka lama dari zaman pra-Islam, yang Syamanistik, Hinduistik
dan Buddhistik ditransformasikan ke dalam situasi pemikiran Islam dan
tidak jarang dipahami sebagai sesuatu yang islami dari sudut pandang
doktrin. Gelombang ini terjadi bersamaan dengan munculnya kesultanan
Malaka (1400-1511) dan Aceh Darussalam (1516-1700).
- Gelombang
Ketiga, ketika pusat-pusat kekuasaan Islam di Nusantara mulai tersebar
hampir seluruh kepulauan Nusantara, pusat-pusat kekuasaan ini
‘seolah-olah’ berlomba-lomba melahirkan para ulama besar. Dalam gelombang
inilah proses ortodoksi Islam mengalami masa puncaknya. Ini terjadi pada
abad ke-18 – 19 M.
Kedatangan
Islam Di Indonesia
Melacak
sejarah masuknya Islam ke Indonesia bukanlah urusan mudah. Tak banyak jejak
yang bisa dilacak. Ada beberapa pertanyaan awal yang bisa diajukan untuk menelusuri
kedatangan Islam di Indonesia. Beberapa pertanyaan itu adalah, darimana Islam
datang? Siapa yang membawanya dan kapan kedatangannya?
Ada beberapa teori yang hingga kini
masih sering dibahas, baik oleh sarjana-sarjana Barat maupun kalangan intelektual
Islam sendiri. Setidaknya ada beberapa teori yang menjelaskan kedatangan Islam
ke Timur Jauh termasuk ke Nusantara.
1. Teori Pertama, diusung oleh
Snouck Hurgronje yang mengatakan Islam masuk ke Indonesia dari wilayah-wilayah
di anak benua India. Tempat-tempat seperti Gujarat, Bengali dan Malabar disebut
sebagai asal masuknya Islam di Nusantara.
Dalam L’arabie
et les Indes Neerlandaises, Snouck mengatakan teori tersebut didasarkan pada
pengamatan tidak terlihatnya peran dan nilai-nilai Arab yang ada dalam Islam
pada masa-masa awal, yakni pada abad ke-12 atau 13. Snouck juga mengatakan,
teorinya didukung dengan hubungan yang sudah terjalin lama antara wilayah
Nusantara dengan daratan India.
2.
Teori kedua, adalah Teori
Persia. Tanah Persia disebut-sebut sebagai tempat awal Islam datang di
Nusantara. Teori ini berdasarkan kesamaan budaya yang dimiliki oleh beberapa
kelompok masyarakat Islam dengan penduduk Persia.
Misalnya saja
tentang peringatan 10 Muharam yang dijadikan sebagai hari peringatan wafatnya
Hasan dan Husein, cucu Rasulullah. Selain itu, di beberapa tempat di Sumatera
Barat ada pula tradisi Tabut, yang berarti keranda, juga untuk memperingati
Hasan dan Husein. Ada pula pendukung lain dari teori ini yakni beberapa serapan
bahasa yang diyakini datang dari Iran. Misalnya jabar dari zabar, jer dari
ze-er dan beberapa yang lainnya.
Teori ini menyakini Islam masuk ke
wilayah Nusantara pada abad ke-13. Dan wilayah pertama yang dijamah adalah
Samudera Pasai.
Kedua teori di atas mendatang kritikan yang cukup
signifikan dari teori ketiga, yakni Teori Arabia. Dalam teori ini disebutkan,
bahwa Islam yang masuk ke Indonesia datang langsung dari Makkah atau Madinah.
Waktu kedatangannya pun bukan pada abad ke-12 atau 13, melainkan pada awal abad
ke-7. Artinya, menurut teori ini, Islam masuk ke Indonesia pada awal abad
hijriah, bahkan pada masa khulafaur rasyidin memerintah. Islam sudah mulai ekspidesinya ke
Nusantara ketika sahabat Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali
bin Abi Thalib memegang kendali sebagai amirul mukminin.
Kondisi
Dan Situasi Politik Kerajaan-Kerajaan di Indonesia
Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun
belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara,
adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan
Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo
menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M,
telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam.
Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim
dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan
bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi'i. Adapun peninggalan tertua dari
kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur.
Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang
Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475
H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan
makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.
Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum
ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada
abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar
sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara
besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah
memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya
beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka,
Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah
campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab.
Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14
dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh
kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan
Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa
kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan
Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang,
tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang
benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil'alamin.
Dengan masuk Islamnya penduduk
pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai
daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam
menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin
banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh
Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang
sejarah Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan
dengan rakusnya menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan
pusat dunia Islam seakan terputus.
Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi.
Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan
menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum
kolonialis. Setiap kali para penjajah - terutama Belanda - menundukkan kerajaan
Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang
kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka.
Maka terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari
bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum
kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat
dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab dengan
pribumi.
Semenjak awal datangnya bangsa Eropa
pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur makmur ini, memang sudah
terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan
bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru mereka, sehingga
semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan
suatu daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan
kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk
memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada
tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk
membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal
total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa
bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M.
Pertempuran besar yang bersejarah ini
dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Khan
Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi
orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten,
Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki
Utsmani.
Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi telah membangkitkan
semangat jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman
akidah Islam tidak merata. Hanya kalangan pesantren (madrasah) saja yang
mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas pada mazhab Syafi'i. Sedangkan
pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah dengan tradisi pra
Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah sudah terjangkiti gaya
hidup Eropa.
Kondisi seperti ini setidaknya masih terjadi hingga
sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-ulama Nusantara adalah orang-orang yang
gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak diantara mereka yang berasal dari
kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang sering bangkit
melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini berhasil
ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah mencatat jutaan syuhada
Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran melawan Belanda.
Sejak perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan 17
seperti Malaka (Malaysia), Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa,
Makassar, Ternate, hingga perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang
Cirebon (Bagus rangin), Perang Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol),
dan Perang Aceh (Teuku Umar).
Munculnya
Pemukiman-Pemukiman di Kota Pesisir
Sumber-sumber literatur Cina menyebutkan, menjelang
seperempat abad ke-7, sudah berdiri perkampungan Arab Muslim di pesisir pantai
Sumatera. Di perkampungan-perkampungan ini diberitakan, orang-orang Arab
bermukim dan menikah dengan penduduk lokal dan membentuk komunitas-komunitas
Muslim.
Kian
tahun, kian bertambah duta-duta dari Timur Tengah yang datang ke wilayah
Nusantara. Seperti pada masa Dinasti Umayyah, ada sebanyak 17 duta Muslim yang
datang ke Cina. Pada Dinasti Abbasiyah dikirim 18 duta ke negeri Cina. Bahkan
pada pertengahan abad ke-7 sudah berdiri beberapa perkampungan Muslim di Kanfu
atau Kanton.
Tentu saja, tak hanya ke negeri Cina perjalanan dilakukan.
Beberapa catatan menyebutkan duta-duta Muslim juga mengunjungi Zabaj atau
Sribuza atau yang lebih kita kenal dengan Kerajaan Sriwijaya.
Hal ini sangat bisa diterima karena zaman itu adalah masa-masa keemasan
Kerajaan Sriwijaya. Tidak ada satu ekspedisi yang akan menuju ke Cina tanpa
melawat terlebih dulu ke Sriwijaya.
Selain Sabaj atau Sribuza atau juga Sriwijaya
disebut-sebut telah dijamah oleh dakwah Islam, daerah-daerah lain di Pulau
Sumatera seperti Aceh dan Minangkabau
menjadi lahan dakwah. Bahkan di Minangkabau ada tambo yang mengisahkan tentang
alam Minangkabau yang tercipta dari Nur Muhammad. Ini adalah salah satu jejak
Islam yang berakar sejak mula masuk ke Nusantara.
Di
saat-saat itulah, Islam telah memainkan peran penting di ujung Pulau Sumatera. Kerajaan
Samudera Pasai-Aceh menjadi kerajaan Islam pertama yang dikenal dalam
sejarah.
Selain di Pulau Sumatera, dakwah Islam juga dilakukan dalam
waktu yang bersamaan di Pulau Jawa. Prof. Hamka dalam Sejarah Umat Islam
mengungkapkan, pada tahun 674 sampai 675 masehi duta dari orang-orang Ta Shih
(Arab) untuk Cina yang tak lain adalah sahabat Rasulullah sendiri Muawiyah bin
Abu Sofyan, diam-diam meneruskan perjalanan hingga ke Pulau Jawa. Muawiyah yang
juga pendiri Daulat Umayyah ini menyamar sebagai pedagang dan menyelidiki
kondisi tanah Jawa kala itu.
Ekspedisi ini mendatangi Kerajaan Kalingga dan
melakukan pengamatan. Maka, bisa dibilang Islam merambah tanah Jawa pada abad
awal perhitungan hijriah. Jika demikian, maka tak heran pula jika tanah Jawa
menjadi kekuatan Islam yang cukup besar dengan Kerajaan Giri, Demak,
Pajang, Mataram, bahkan hingga Banten dan Cirebon.
Proses dakwah yang panjang, yang salah satunya dilakukan
oleh Wali Songo atau Sembilan Wali adalah rangkaian kerja sejak kegiatan
observasi yang pernah dilakukan oleh sahabat Muawiyah bin Abu Sofyan.
Peranan Wali Songo dalam perjalanan Kerajaan-kerajaan Islam
di Jawa sangatlah tidak bisa dipisahkan. Jika boleh disebut, merekalah yang
menyiapkan pondasi-pondasi yang kuat dimana akan dibangun pemerintahan Islam
yang berbentuk kerajaan. Kerajaan Islam di tanah Jawa yang paling terkenal
memang adalah Kerajaan Demak. Namun, keberadaan Giri tak bisa
dilepaskan dari sejarah kekuasaan Islam tanah Jawa.
Sebelum Demak berdiri, Raden Paku yang
berjuluk Sunan Giri atau yang nama aslinya Maulana Ainul Yaqin, telah membangun
wilayah tersendiri di daerah Giri, Gresik, Jawa Timur. Wilayah
ini dibangun menjadi sebuah kerajaan agama dan juga pusat pengkaderan dakwah.
Dari wilayah Giri ini pula dihasilkan pendakwah-pendakwah yang kelah dikirim ke
Nusatenggara dan wilayah Timur Indonesia lainnya.
Cara
Islamisasi Di Indonesia
Perjalanan dakwah awal Islam di Nusantara tak terbatas hanya
di Sumatera atau Jawa saja. Hampir seluruh sudut kepulauan Indonesia telah
tersentuh oleh indahnya konsep rahmatan lil alamin yang dibawa oleh Islam.
Ada
beberapa contoh islamisasi di kepulauan Nusantara, seperti :
1.
Islamisasi
Kalimantan
Para ulama awal yang berdakwah di
Sumatera dan Jawa melahirkan kader-kader dakwah yang terus menerus mengalir.
Islam masuk ke Kalimantan atau yang lebih dikenal dengan Borneo kala itu. Di
pulau ini, ajaran Islam masuk dari dua pintu.
Jalur pertama yang membawa Islam
masuk ke tanah Borneo adalah jalur Malaka yang dikenal sebagai Kerajaan Islam
setelah Perlak dan Pasai. Jatuhnya Malaka ke tangan penjajah Portugis kian
membuat dakwah semakin menyebar. Para mubaligh-mubaligh dan komunitas Islam
kebanyakan mendiami pesisir Barat Kalimantan.
Jalur lain yang digunakan
menyebarkan dakwah Islam adalah para mubaligh yang dikirim dari Tanah Jawa.
Ekspedisi dakwah ke Kalimantan ini menemui puncaknya saat Kerajaan Demak
berdiri. Demak mengirimkan banyak mubaligh ke negeri ini. Perjalanan dakwah
pula yang akhirnya melahirkan Kerajaan Islam Banjar dengan ulama-ulamanya yang
besar, salah satunya adalah Syekh Muhammad Arsyad al Banjari. (Baca: Empat
Sekawan Ulama Besar).
2.
Islamisasi
Sulawesi
Ribuan pulau yang ada di Indonesia,
sejak lama telah menjalin hubungan dari pulau ke pulau. Baik atas motivasi
ekonomi maupun motivasi politik dan kepentingan kerajaan. Hubungan ini pula
yang mengantar dakwah menembus dan merambah Celebes atau Sulawesi.
Menurut catatan company dagang
Portugis yang datang pada tahun 1540 saat datang ke Sulawesi, di tanah ini
sudah bisa ditemui pemukiman Muslim di beberapa daerah. Meski belum terlalu
besar, namun jalan dakwah terus berlanjut hingga menyentuh raja-raja di
Kerajaan Goa yang beribu negeri di Makassar.
Raja Goa pertama yang memeluk Islam
adalah Sultan Alaidin al Awwal dan Perdana Menteri atau Wazir besarnya, Karaeng
Matopa pada tahun 1603. Sebelumnya, dakwah Islam telah sampai pula pada
ayahanda Sultan Alaidin yang bernama Tonigallo dari Sultan Ternate yang lebih
dulu memeluk Islam. Namun Tonigallo khawatir jika ia memeluk Islam, ia merasa
kerajaannya akan di bawah pengaruh kerajaan Ternate.
Beberapa ulama Kerajaan Goa di masa
Sultan Alaidin begitu terkenal karena pemahaman dan aktivitas dakwah mereka.
Mereka adalah Khatib Tunggal, Datuk ri Bandang, datuk Patimang dan Datuk ri
Tiro. Dapat diketahui dan dilacak dari nama para ulama di atas, yang bergelar
datuk-datuk adalah para ulama dan mubaligh asal Minangkabau yang menyebarkan
Islam ke Makassar.
Pusat-pusat dakwah yang dibangun
oleh Kerajaan Goa inilah yang melanjutkan perjalanan ke wilayah lain sampai ke
Kerajaan Bugis, Wajo Sopeng, Sidenreng, Tanette, Luwu dan Paloppo.
3.
Islamisasi
Maluku
Kepulauan Maluku yang terkenal kaya
dengan hasil bumi yang melimpah membuat wilayah ini sejak zaman antik dikenal
dan dikunjungi para pedagang seantero dunia. Karena status itu pula Islam lebih
dulu mampir ke Maluku sebelum datang ke Makassar dan kepulauan-kepulauan
lainnya.
Kerajaan Ternate adalah kerajaan
terbesar di kepulauan ini. Islam masuk ke wilayah ini sejak tahun 1440.
Sehingga, saat Portugis mengunjungi Ternate pada tahun 1512, raja ternate
adalah seorang Muslim, yakni Bayang Ullah. Kerajaan lain yang juga menjadi
representasi Islam di kepulauan ini adalah Kerajaan Tidore yang wilayah
teritorialnya cukup luas meliputi sebagian wilayah Halmahera, pesisir Barat
kepulauan Papua dan sebagian kepulauan Seram.
Ada juga Kerajaan Bacan. Raja Bacan
pertama yang memeluk Islam adalah Raja Zainulabidin yang bersyahadat pada tahun
1521. Di tahun yang sama berdiri pula Kerajaan Jailolo yang juga dipengaruhi
oleh ajaran-ajaran Islam dalam pemerintahannya.
4.
Islamisasi
Papua
Beberapa kerajaan di kepulauan
Maluku yang wilayah teritorialnya sampai di pulau Papua menjadikan Islam masuk
pula di pulau Cendrawasih ini. Banyak kepala-kepala suku di wilayah Waigeo,
Misool dan beberapa daerah lain yang di bawah administrasi pemerintahan
kerajaan Bacan. Pada periode ini pula, berkat dakwah yang dilakukan kerajaan
Bacan, banyak kepala-kepala suku di Pulau Papua memeluk Islam. Namun, dibanding
wilayah lain, perkembangan Islam di pulau hitam ini bisa dibilang tak terlalu
besar.
5.
Islamisasi
Nusa Tenggara
Islam masuk ke wilayah Nusa Tenggara
bisa dibilang sejak awal abad ke-16. Hubungan Sumbawa yang baik dengan Kerajaan
Makassar membuat Islam turut berlayar pula ke Nusa Tenggara. Sampai kini jejak
Islam bisa dilacak dengan meneliti makam seorang mubaligh asal Makassar yang
terletak di kota Bima. Begitu juga dengan makam Sultan Bima yang pertama kali
memeluk Islam. Bisa disebut, seluruh penduduk Bima adalah para Muslim sejak
mula.
Selain Sumbawa, Islam juga masuk ke
Lombok. Orang-orang Bugis datang ke Lombok dari Sumbawa dan mengajarkan Islam
di sana. Hingga kini, beberapa kata di suku-suku Lombok banyak kesamaannya
dengan bahasa Bugis.
Dengan data dan perjalanan Islam di atas, sesungguhnya bisa
ditarik kesimpula, bahwa Indonesia adalah negeri Islam. Bahkan, lebih jauh
lagi, jika dikaitkan dengan peran Islam di berbagai kerajaan tersebut di atas,
Indonesia telah memiliki cikal bakal atau embrio untuk membangun dan menjadi
sebuah negara Islam.
Peranan
Wali Songo Dalam Pengembangan Islam Di Indonesia
Wali songo sememangnya mempunyai
peranan yang sangat besar dalam pengembangan islam di indonesia. Bahkan mereka
adalah perintis utama dalam bidang dakwah islam di indonesia, sekaligus pelopor
penyiaran agama islam nusantara ini.
‘Wali’ adalah singkatan perkataan
arab. Waliyullah dan ia bermaksud ‘orang yang mencintai dan dicintai Allah’
manakala ‘Songo’ pula adalah perkataan Jawa yang bermaksud sembilan. Lantas
‘Wali Songo’ merujuk kepada wali sembilan yakni sembilan orang yang mencintai
dan dicintai Allah. Mereka diberi gelaran yang sedemikian karena mereka
dianggap penyiar-penyiar agama Islam yang terpenting karena kesungguhan mereka
mengajar dan menyebarkan Islam. Di samping itu, mereka juga merupakan para
intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka telah
mengenalkan pelbagai bentuk peradaban baru yang merangkumi aspek kesehatan,
bercocok tanam, perniagaan, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan dan juga
pemerintajan. Kesemua sembilan wali telah banyak memberikan sumbangan, namun
dalam esai ini sembangan tiga tokoh wali pilihan yang juga merupakan contoh representatif bagi
kesemua wali-wali tersebut, akan dibincangkan dalam peranan mereka meningkatkan
tahap intelektual kehidupan menerusi agama Islam dari aspek pendidikan,
sosio-ekonomi dan politik. Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Giri dan
Sunan Bonang.
Tokoh yang pertama ialah Maulana
Malik Ibrahim yang berbangsa Arab dari keturunan Rasulullah. Beiau datang d
Ri
Kasyan, Persia dan tiba di Jawa pada 1404 sebagai penyebar agama Islam dan
menetap di Leran, sebuah desa yang terletak di luar kota Gresik. Beliau telah
menjalankan dakwah Islam dengan bijaksana dan dapat mengadaptasikan
pengajarannya dengan masyarakat sekeliling sehingga ramai rakyat tertarik
dengan agama baru ini, lalu memeluknya.
Beliau telah memperkenalkan bidang
perdagangan dan melaui ini, beliau Berjaya mendapat tempat dihati masyarakat di
tengah-tengah krisis ekonomi dan perang saudara. Contohnya, beliau telah
membuka warung yang menyediakan keperluan bercocok tanam dengan harga murah
selain daripada mengajarkan cara-cara bercocok tanam yang baru. Di samping itu,
agama dan adat-istiadat lama tidak langsung di tentangnya dengan kekerasan.
Sebaliknya, menerusi pergaulannya sehari-hari, beliau menunjukkan kemuliaan
akhlak seperti kesopanan bertutur, sikap hormat-menghormati dan tolong-menolong
yang diajarkan agama Islam. Dengan inilah beliau telah Berjaya menarik
orang-orang Jawa dari kasta bawahan untuk memeluk Islam. Beliau juga merupakan
pencipta pondok/pesantren yang pertama di Gresik, umumnya di Tanah Jawa. Pondok
ini dibina karena bilangan pengikutnya yang kian bertambah. Disinilah juga,
beliau telah melahirkan mubaligh-mubaligh Islam yang bergiat di Tanah Jawa.
Kegiatan-kegiatan mendakwah dijalankan oleh beliau dengan penuh dedikasi
sehinggalah Maulana Malik Ibrahim meninggal dunia pada tahun 1419.
Tokoh kedua pula ialah Sunan Giri
yang dilahirkan pada tahun 1365 di Blambangan. Ayahnya adalah Maulana Ishak,
seorang ulama Islam dari Arab dan bermukim di Pasai, Aceh. Sunan Giri juga
dikenali sebgai Raden Paku atau Maulana Ainul Yaqin dan merupakan seorang ulama
yang dibekali dengan pengetahuan agama yang mencukupi. Ilmunya yang mendalam
dan dirinya yang senantiasa menjadi rujukan dalam hal-hal agama telah membuat
ramai menganggapnya sebagai mufti.
Sunan Giri telah menyiarkan Islam
dan menanamkanya ke dalam jiwa penduduk dalam pelbagai cara. Beliau juga telah
mendirikan sebuah masjid di Kampong Laut sebagai langkah pertama untuk
menyebarkan Islam dan sehingga kini masjid itu masih kekal dalam bentuk asalnya
walaupun telah bertahan sampai kea bad 17, untuk murid-muridnya bagi
mengajarkan ilmu fiqih, hadist serta nahwu dan sharaf. Murid-muridnya pula bukan
saja terdiri daripada mereka yang dating dari Surabaya tetapi, ada juga yang
berasal dari Madura, Lombok dan Makassar. Dengan terdirinya pesantren-pesantren
tersebut, ia menjadi pusat dan markas gerakan dakwah yang terbesar dan terawal
di Jawa.
Disamping itu, beliau juga merupakan
seorang pedagang yang mengelilingi pulau-pulau di Indonesia seperti Kalimantan
dan Sulawesi. Dengan inilah beliau telah berjaya memikat ramai orang kaya dan
orang-orang terpandang dari Maluku, Pontianak dan Banjarmasin untuk memeluk
agama Islam.
Secara keseluruhannya, jasa terbesar
beliau ialah usahanya menghantar anak muridnya ke pelosok-pelosok Indonesia
seperti Pulau Madura dan Bawean untuk menyiarkan Islam. Selain itu, kedudukan
Giri amatlah penting juga dalam sejarah perkembangan politik dan pengaruh Islam
di Pulau Jawa. Beliau banyak telah berkemampuan mempengaruhi daerah-daerah
Islam yang lain seperti Jepara, Tuban dan Gresik sehingga terbentuknya kerajaan
Islam yang pertama di Demak pada tahun 1479 M.
Tokoh terakhir yang akan disentuh
ialah Sunan Bonang yang juga dikenali sebagai Raden Makdum Ibrahim. Beliau
hidup di antara 1465-1525 M. beliau meraih ilmu daripada ayahnya Maulana Ishak
dan terkenal sebagai ahli kalam atau ilmu Tauhid.
Sunan Bonang memainkan peranan yang
besar dalam penumbuhan kerajaan Islam Demak. Di dalam dakwahnya dank arena
kedudukannya sebagai penyokong kerajaan Demak, beliau telah berusaha memasukkan
pengaruh Islam ke dalam kalangan bangsawan keratin Majapahit. Ini dilakukan dengan
member didikan Islam kepada Raden Fatah, Sultan Demak pertama. Selain itu,
beliau juga membantu dalam penumbuhan Masjid Agung di kota Bintoro Demak.
Keistimewaan dan sekaligus
pembaharuan yang dibuat oleh Sunan Bonang ialah kebijaksanaan dan keunikannya
dalam berdakwah yang telah menambat hati rakyat agar dating ke masjid. Bahkan,
beliau member penekanan kepada kebersihan dengan menyediakan sebuah kolam di
hadapan masjid agar setiap pengunjung yang dating dengan sendirinya akan
membersihkan kaki mereka. Beliau telah mencipta alat music Jawa yang disebut
Bonang serta tembang dang gending-gending Jawa yang berisikan ajaran Islam
untuk berdakwah. Boning itu akan dibunyikan untuk menarik masyarakat sekeliling
yang mendengarnya agar berkunjung ke masjid sementara pengikut-pengikutnya pula
di ajarkan menyanyikan tembang-tembang sehingga mereka menghafalnya yang
kemudian mereka pula akan mengajarkannya kepada ahli keluarga masing-masing.
Sedikit demi sedikit, Sunan Bonang dapat merebut hati rakyat dan kemudiannya
menanamkan pengertian yang teguh tentang Islam.
Secara kesimpulan, ‘Wali Songo’
sesungguhnya telah memainkan peranan yang penting dalam penyebaran Islam
sekaligus mempertingkatkan keintelektualan masyarakat pada masa itu. Di samping
itu, mereka juga telah berjaya mendirikan suatu kerajaan Islam di Indonesia.